Sabtu, 16 April 2011

Esai A’yat Khalili


A’YAT KHALILI

Dilahirkan di kampung Telenteyan, desa Longos, Gapura, Sumenep, 10 Juli 1990. Pendidikan dasarnya diselesaikan di desanya sendiri (MI Taufiqurrahman, 1997-2003), sedang SMPnya di Yayasan Abdullah (YAS’A, 2004-2006) Pondok Pesantren Mathali’ul Anwar, Pangarangan Sumenep. Karya-karya berupa poem, short story, essay, article, notes of culture, etc, dimuat di media lokal dan nasional, seperti; Majalah Sastra Horison, Majalah Bende, Media, Gong, Annida, Sahabat Pena, MPA, Tera, Kuntum, Radar Madura, dll. Juga dalam buku antologi tunggal dan bersama, seperti; Stasiun Tua ( PusatBahasa, Jakarta, 2006 ), Sebab Akulah Kata ( kedokbooks, Surabaya, 2007), Rumah Seribu Pintu (RSB, 2008), Kaliopak Menari (Matapena, 2008), Puisi Menolak Lupa (obsesipress, Purwokerto, 2010), Antologi Penyair Nusantara Triwulan Majapahit (Mojokerto, 2010), Munajat Sasayat Doa (Riau, 2011), Pukau Kampung Samaka (Lampung, 2011), ll. Dan buku antologi persiapannya Insyaallah; Lagu Tentang Engkau & Pulau Yang Tergantung (Puisi), Pulau Garam (Novel), Kerapan Sapi Bapak (Cerpen). Karya-karyanya juga pernah dianugerahi hadiah, di antaranya; 1. oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, dalam rangka Bulan Bahasa & Sastra 2006 sekaligus peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-78, 2. oleh Balai Bahasa Surabaya & Pusat Bahasa Depdiknas Jakarta 2006, 3. oleh Taman Budaya Jawa Timur 2006, 4. mendapat Anugerah Piala Walikota Surabaya di Teater Kedok SMAN 6 Surabaya di Gedung Balai Pemuda Surbaya 2007, 5. oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto2010, 6. oleh Forum Tinta Dakwah & FLP Riau 2010, 7. oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus, dalam rangka Festival Teluk Semaka (FTS) 2010, 8. dari Give Spirit For Indonesia 2011, ll. Pengalaman yang pernah dilalui, di antaranya; ilustrator Majalah Deblis (Debat-Tulis, 2005-2006), peserta undangan Pelatihan Penulisan Bengkel Sastra (PPBS) oleh Balai Bahasa Surabaya (BBS, Agustus 2006), peserta dan undangan Liburan Sastra Pesantren (Berlibur, Berkarya, Bersastra) se-Indonesia oleh penerbit Matapena & LKiS dan beberapa penulis-penulis terkemuka di tanah air ( Jogja, 9-12 Juli 2008), ll. Selain ia menulis karya sastra juga sering melukis. Ia salah seorang pendiri komunitas Rumah Sastra Bersama (RSB) & Komunitas Ruang Bahasa (RUBAH) sekaligus ketua Bengkel Puisi Annuqayah (BPA, 2008-2009). Kini, tinggal di Pondok Pesantren Annuqayah, Daerah Latee, Rayon Al-Bukahri No. 23/ Al-Farisi No. 02, Jalan Makam Pahlawan, Guluk-Guluk Sumenep Madura Jawa Timur 69463. Telp: (0328) 821366, 823332. Email: merindukan_masadepan@yahoo.com.


Esai A’yat Khalili

PUISI, PENYAIR DAN PEMBACA

Puisi adalah suara jiwa penyair, tentang apa yang dilihat mata, dirasa dan dicecap lidah dan kulit, apa yang dicium hidung, dipikir otak dan sesuatu apa yang disimpan hati. Eksperesi jiwa itu menghadirkan rasa indah dan rasa kagum bagi setiap manusia yang menikmatinya. Puisi adalah merupakan komunikasi langsung seorang penyair dengan alam, maka tak salah jika terkadang ia hadir menyuarakan gerak daun yang ditingkap angin, sehempas debu yang diterjang angin, atau aroma bunga yang dibawa angin dari halaman rumah. Sebab dari selain itu, puisi adalah merupakan salah satu bentuk jenis karya sastra yang dilengkapi dengan pemakaian majas, denotasi dan konotasi serta penggunaan lambang-lambang, yang terkadang bahasa yang digunakan penyair, ada yang padat, naratif, dan terdapat penghilangan sebagian tanda dan kata untuk lebih mengintensifkan puisinya.

Unsur-unsur puisi didapatkan dari pancaindra, melihat, merasakan dari apa yang terkecil sampai ke paling besar. Yang tampak sampai ke kasat mata. Seorang penyair adalah orang yang paling tertuntut kepekaan dan meresapi setiap kemungkinan dalam perasaan memahami hidup, bahasa dan peristiwa-peristiwa terhadap gejala luar biasa yang ada di alam ini. Penyair dan lingkungannya. Ia hidup dalam dunia bahasa yang tak terbatas dan tak terlepas dari sifat kolektif. Selain pribadinya yang mempunyai jiwa, masyarakat pun punya jiwa. Penyair dan masyarakat adalah ibarat anak dan ibu, yang membentuk dari akumulasi semacam interaksi dan interelasi antara keduanya. Penyair seolah berada dibuaiannya, sementara sang ibu sendiri selalu memberi berbagai macam kebutuhan anak. Karena ia dibentuk dan lahir sebagai anggota-anggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosional yang terkadang juga kurang rasional dan ril. Hingga dalam hidup yang ia jejaki, ia serapi, ia renungi sebagai sebuah pengetahuan dan pengalaman pahit-manis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya itu telah bermacam-macam warna berbeda yang dapat ia hadirkan, yang tentu kemudian cukup memiliki ciri khas berbeda dan bernilai tersendiri dalam lingkungan hidupnya.

Ia tidak akan hadir dalam ruang kosong belaka, nihil makna. Melainkan puisi sebagai suara terdalam manusia sebagai sang penyair dalam mentransenden bahasa, yang dalam istilah ilmu linguistic—sebagai suatu kalimat yang tidak dapat disampaikan dengan cara lain apa pun, kecuali dalam dan oleh kalimat puisi itu sendiri. Jika kita pun bertanya, dapatkah air mata dan tangis diterjemah dengan bahasa, luka yang tersiksa mampukah ditulis. Di situ bahasa hanya menjadi bahasa. Luka pun tetap menjadi bahasa luka. Ia tak bisa menjelaskan kalimat, begitu pun kata hanya hidup dalam kata itu sendiri. Di luar itu semua—apa yang dipikirkan manusia tentang hari esok hanyalah sunyi, sunyi tak terbatas. Ironi dan abstrak. Puisi sangat penuh pekat-kental, ia sarat dengat hukum nilai, alam estetika telah menjadi tuntutan pembaca dalam mengakrabi puisi agar semakin terkesan, penuh etnik, sosia, dan religius. Yang dalam catatan ini perubahan paling kecil dalam puisi akan mengakibatkan perubahan seluruh komponen dalam rangkaian unsurnya. Hingga puisi akhirnya tidak menjadi kosong arti, dan mustahil dipisahkan dari bunyi kata yag terungkap. Dengan alasan apa pun, puisi tidak untuk diterjemah, sebab ia memang bukan untuk dipikir apalagi diterjemah dengan bahasa lainnya. Ia hanya hadir untuk memenuhi keragaman bahasa, sebagai hakikat awal mula bahasa diciptakan bagi manusia, yang lalu memunculkan dan menjelaskan banyak peristiwa bahasa untuk kemudian diolah batin dan dirasakan oleh pemahaman jiwa. Selain itu semua, hanya sebuah arti atau pengertian yang tak termaknakan.

Seorang pembaca tentunya harus benar-benar tahu dan menguasai linguistic bahasa. Dalam potret lain, harus hidup dalam dunia bahasa. Sebab jika tidak, ia sedang menghadapi besi dingin. Ketika menyentuhnya tak bakal mendapat percik apa pun, kecuali kegelapan amat sangat dan serangkaian kalimat tak bermakna. Lalu bagaimana mungkin, jika tak pernah luka akan menangis. Jika tak pernah hidup akan mati. Mendalami rasa, indera, bahasa, gerak, hingga lahir gema dalam jiwa. Sebab dalam puisi yang menentukan adalah penghayatannya. Pikiran terkadang buntu. Ia adalah batas terendah mencari pembacaan puisi. Sedang puisi sendiri puncak teratas bahasa. Octavio Paz; pernah menulis “ bila puisi menyentuh suatu bahasa apa pun maka menjadi ujaran (beku) dan seketika itu juga berhenti jadi bahasa”. Artinya sebagaimana di atas tersebut, puisi tidak dapat dibahasakan dengan cara ungkap apa pun, selain cara ungkap puisi itu sendiri, ia lahir dari gema rasa—untuk dirasakan jiwa lain, yang kehadiran itu bakal mesti jadi sangkut-paut kehidupannya menerima gema di sekitar dirinya yang menimpa.

Istilah puisi muncul dari runut kata, rasa, bunyi, gema, makna dan indera. Yang satu sama lain berpaduan—tak terpisahkan. Bekerjasama dan saling mengisi. Bahkan mustahil diceraikan keutuhannya yang membentuk ujud puisi itu sendiri. Tidak ada rupa kedua dari puisi. Puisi hanya puisi. Ia hidup sendiri. Akan tetapi dari perangkat itu, puisi bisa hadir jadi pemahaman universal, dan multitafsir. Bagi sebagian pembaca, puisi dapat dirasakan dari getaran bunyinya, sebagia lain dari kedahsyatan kata-katanya, sebagian lagi dari anaforinya, dan ada juga tak menemukannya. Namun, walau sebesar apu pun semua itu tak akan pernah sampai sebagaimana maksud penyairnya itu. Ada yang berlebih dalam pandangannya. Ada yang kewalahan mencarinya. Lebih-lebih seorang pembaca hendaklah mengetahui lingkungan juga hal ihwal proses kreatif sang penyair. Karena ini, tentu bakal membantu kuat penelitian dan pemahamannya tentang puisi-puisi Yang dibaca. Contoh kecil Sutardji CB, puisi-puisinya hanya dapat dipamahi sebagian orang yang telah benar-benar tahu dan mengenal serta membaca catatan hidup yang ia prioritaskan sebagai salah satu proses kreatifnya menulis puisi-puisi mantra kepada khalayak pembaca. Dan masih banyak …yang selanjutnya terserah pembaca mencari dan mengenal puisi secara lebih luas. Hingga kita akhirnya faham, bahwa kenikmatan puisi dan kefahamannya menjadikan manusia lebih arif dan bijak, beradab dan lembut serta selalu ingat pada momentum sendiri.

Telenteyan Longos, Gapura, 13 September 2010.

Sajak-Sajak Bagas Jiddan


Bagas Jiddan

Lahir di Sumenep, 10 Desember 1993. Bergiat di komunitas sastra Rumah Sastra Bersama (RSB) dan penggagas Gubuk Sastra Kita (GSK) di sekolahnya: MA Tahfidh Annuqayah (MATA), Guluk-guluk, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Karya-karyanya, terutama puisi di muat di media-media lokal, seperti: Iltizam, Kejora, Hijrah dsb. Beralamat: PP. Annuqayah Latee, Rayon Al-Bukhari No. 03, Jl. Makam Pahlawan, Guluk-guluk, Sumenep, Madura, Jawa Timur 69463. Phone. (0328) 821366, Faks. (0328) 821155. E-mail: bagasjiddan@yahoo.com


Sajak-Sajak Bagas Jiddan

Ada Bukit Di Kuncup Pusarmu


Bukan lagi waktu senikmat madu

Tak lagi bukit rocing manggumam rindu

Tapi jam dada menderit haru

Setiap alur menetapak lembah jejak bukit peniggalan nenekmu yang

Menjelajah gagah kepunggung wanita dengan seteguk susu


Sebelum wanita itu terbitkan bocah tunggal

sibocah berbisik pada rahim semayam

Serupa sisi tahap anyirnya yang ia lahap,


Pada senja, bocah itu bertanya pada tuhan

"tuhan siapa yang akan mengabaku di alam selanjutnya?"


Tuhan menjawab dengan adatnya

" yaitu setangkai wanita yang hadir dan ghaib menyimpan sorga"


(Sungguh aku tak jemu atanya dzikirdzikir dusun wanita itu

Li_ummi

Hubbi

Abadan)

Selamat datang katulistiwa tenggara jemari lebahku

Dan tak pikun salamku untuk wanita pengaba

Karena ia tak sepada dengan apa yang kulogamkan


;Serasa tak jauh lagi tentang alamalam indah

Serta konon karunkarun yang tak tepi

Lakih, perut kakimu yang bubut sorgasorga

Meski kau gumar serupa apa

Tapi ia tetap mengaki.

Maka birakan aku selinapkan tentang tekuk lutut

Dengan selembar daun pada musim kemarau


Guluk-Guluk, 13/05/2010.



Malam Kaum Khaldi


Baringan tubuh tubuh itu serupa pindang pindang yang tertawar alur suara orang

Kadang kau sulam dengan guliran salur kencingmu yang pacung


Kertas kertas berharga kau lempar kemuanya, selagi urat uratmu terkuras


Terkadang saat yang kosong

Kau lambaikan ekormu ikuti arus angin berlalu lalang


Seiring lantunan ruang berlampu

Di sisi lain serupa kunang kunang yang sinari para penghuni liang


Kenapa kau tak sadar kalau sinar itu akan redup dan mati

Itu adalah rumah hunimu nanti prem…


Guluk guluk, 02032010

Sajak-Sajak Moh. Mahfudz Af


MOH. MAHFUDZ AF

Lahir di Duko, Rubaru 07 Februari 1993. Tepatnya Jl:K. Ach Zaini sebelah utara Masjid Nurul Huda, Duko, Rubaru, Sumenep. Saat ini nyantri di PPA Daerah Latee, Al-Bukhari No. 21. Karya-karyanya mungkin hanya kebetulan dimuat di Radar Madura, Buletin Sidogiri, Hijrah, Iltizam, Dan Al-Ikhwan Banyuanyar. Juara harapan 1 lomba cipta puisi (PP. Agung Damar) 2010, juara 3 lomba cipta puisi (Olimpiade MA1 Annuqayah) 2010, dan puisinya menjadi nominasi FTD (Forum Tinta Dakwah )FLP Riau 2010. Aktif di Rumah Sastra Bersama (RSB) dan Teater KOTEMANG (MA1 Annuqayah). “ mungkin lahirnya puisiku hanya mengenang kenangan yang kujadikan rindu dalam hati, seperti ucapanku pada A’yat SG Khalili dan Rusydi Zamzami yang telah menjadikanku rindu akan puisi, semangatku tumbuh untuk selalu maju bersama Rumah Sastra Bersama. Emailku: lakastah.melepasmu@gmail.com.


Sajak-Sajak Moh. Mahfudz Af

Lima Sajak Catatan Kamar No. 21


“orgel yang patah”

Ku baca hari pualam di rambutmu

Segala peristiwa terekam semua pada rindu

Tapi aku meyakini musim kita akan kembali

Meski bulan hilan dalam angan


kemala yang gelisah”

Hujan adalah rindu diantara cahaya dan gelap

Melewati jalan terakhir yang panjang

Bayang-bayang kita pun terhenti pada pohon mati

Yang kau tanam dalam hati


“hikayah yang hilang”

Sayap peri mengapak gugur bunga terjatuh

Sambil berjalan kebukit mimpi-mimpi

Mengukir bocah yang selalu jemu dangan cinta

Hilang dalam kata-kata


“keranda yang kosong”

Angin membekas diantara daun-daun siwalan

Entah malam yang menggigil atau siang yang mendidih

Kita lebih memilih diam dan tawakal

Dalam renah angin penyesalan


“air mata yang jatuh”

Musim kembali berulang

Tapi matahari nyala di perempatan jalan

Kita lebih senang memandikan cahaya

Yang membeku pada jiwa-jiwa

Amin…


2010.


Menuju Stasiun

—latee


Aku mengapung menujumu

Tampa mengunyah nafas sebisik embun

Konon,di tempatmu gubuk-gubuk berbaris seperti kata

Setelah sampai

Aku akan menyulam mimpi masa lalu

Dan kenangan yang berubah jadi perasaan

Juga gubukmu akan kusuarakan di langit sunyi

Di situ beribu bunga akan tumbuhmelambai

Jadi kata-kata

Di tampat itu

Lumpur-lumpur jadi kota

Sungai-sungai jadi rahasia

Detak jam jadi catatan

Apa ini tempatmu?

Latee…kau masih tak tampak buram di mata jalan

Seperti stasiun kereta sepi penuh antrian


2010.

Sajak-Sajak MOH.A5Q M3R

MOH.A5Q M3R

Lahir di desa terpencil bernama Parebba’an, Ganding, Sumenep, 12-09-1993. Dan kali ini penulis hijrah ke PP. An-nuqayyah Latee, Darul-Lughah No. 08. Pertama kali menginjak dunia tulis menulis ketika masuk di Teater SAKSI (Sanggar Kreasi Seni Islami ) pada tahun 2006. Karya-karyanya pertama hanya untuk koleksi pribadi namun ketika masuk dalam komunitas GSK ( Gubuk Sastra Kita) MA Tahfidh Annuqayah, penulis mulai mengirim karya-karyanya kemedia. Kali ini penulis masuk komunitas RSB ( Rumah Sastra Bersama ) untuk lebih mendalami dunia tulis menulis sastra.

Pengalaman organsasi : anggota PKS (2007-2009) , koordinator seni budaya osis MA Tahfidh Annuqayah (2010-2011), ketua sanggar SAKSI (2010-2011), crew Buletin Hijrah PP. Annuqayah Latee (2010-2011).


Sajak-Sajak MOH.A5Q M3R
-TONGGAK SAJAK PENYAIR-


Kali pertama penyair menyapa …………..

Semua riuh mengelepar hasrat

Tertawa. Terbahak

Ikut mengolok ejek derita


Kali pertama penyair menyapa…….

Jalan sakral terbentang

Setiap saksi jadi riuh

Ikut munajad dalam gubuk sastra kita


Kali petama penyair menyapa…….

Lumpur masih debu

Bata masih batu

Lakon selalu kesusu


Kali pertama penyair menyapa…….

Dasar sudah ada

Dinding sudah menganga

Membetur rumah sastra bersama



-RENGEK BAYI DALAM HUJAN -


Renung kelam mulai berkibar

Membawa sepi yang tersingkap

Meski angkara belum terungkap

Aku heran saat sufi itu berjalan


Semua melingkar menjerat sangkar

Api yang kau hunus

Kini mulai menanar dalam kal+buku

Antara simpang itu


Kau merunduk tertunduk sepi

Mungkin aku yang salah

Buat bayimu menanges

Tengah gerimis waktu itu


Yah……inilah akhir riwayatmu

Kau begitu ngenes

Saat kau akhiri jalanmu

Sentral kotapun tertunda


Merambat aliri karta itu

Huh…..huh

Tawapun tertoar

Jadikan sepi terkungkung sangkar


07-11-2010

Sajak-sajak Nahwal Ma’ali Arief

NAHWAL MA’ALI ARIEF

Adalah nama pena dari Mohammad Arief Alie_Ra, lahir di desa Moncek-Tengah, Lenteng, Sumenep, 09 Februari 1993, pernah menimba ilmu di SDN 1 di desanya dan di MD ( Madrasah Diniyah ) pp. Al-Ishlah, namun tidak tuntas dikarenakan ia harus melanjutkan pendidikannya ke PP. Annuqayah daerah Latee, tempatnya di kompleks Darullugah Al-Arabiah Walfiqhi Assalafi dan sekarang telah tercatat sebagai salah satu siswa MA Tahfidh Annuqayah dan bergabung dalam komunitas RSB ( Rumah Sastra Bersama ) dengan ajakan temannya, ditahun yang sama ia bergabung dengan teater SAKSI Annuqayah serta turut menghidupkan komunitas GSK ( Gubuk Sastra Kita ) yang dirintis oleh sehabat-sehabatnya semasa masih duduk dikelas satu MA. Hobi membacanya dimulai sejak di Sekolah Dasar, namun setelah duduk di tingkat MTS tepatnya diawal kelas satu ia menulis catatan-catatan harian dan coretan kecil di setiap buku pelajarannya, tapi hingga sekarang dia tidak pernah mengirimkan karya-karyanya ke media masa manapun, karena ia berinisiatif semua karyanya hanya untuk dinikmati dan dikoleksi sendiri.



Sajak-sajak Nahwal Ma’ali Arief

Pada Akhirnya

Baru kemarin kita berpesta tari-tarian aneh pada gedung-gedung putih. Dengan mata api yang selalu setia mengelus-elus pandangan kita dan bila petang bertamu kita akan berhenti, diam kitapun pulang menggenggam sebait prosa perjanjian setengah ajal. Di saat dulu kita mengukir impian di ujung langit biar tak satu manusia pun tahu bahwa kita pernah membungkus sebuah harapan di tengah perjalanan.

Riak-riak gelombang berlari saling dorong-mendoron pada pinggir pasir putih tempat di kuburnya sejarah tentang rencana kita untuk mengarungi samudra dan ini semua telah di bisikkan setiap telinga-telinga manusia bahwa kita punya peta di samping kanan dada. Salah satu orang telah berlayar ke tengah samudra sedari tadi, sedang yang lain tengah di landa keragu-raguan di keningnya.! Apakah kita akan berlayar setelah datangnya ombak besar?

Di tengah perjalanan aku hanya sendiri membaca garis demi garis prosa yang pernah kita genggam, semakin batinku membatin, akupun kesepian karena aku berlayar dengan sampan retak sambil memegang sebungkus kemungkinan. Sebab kita telah terhanyut bersama ombak sebelum kita berlayar. Semua harapan kini telah jatuh satu persatu. Dan pada akhirnya kita akan tenggelam dalam sepi dan penyesalan.

Annuqayah Latee, 22-Okt-2010


Kita Bagaikan Rumput

Dahulu kita berlarian temu arah dipadang rumput ujung gunung semeru tempat kita samasama menjajarkan barisan formasi kuat tentang ujung kehidupan dan aku mengagumi kalian bukan karma cinta tapi aku suka kobaran dendam yang setiap saat bias kuhantam kututup buku sejarah kita dengan kerlapkerlip temaram bulan pada petang di pelataran sawah gubuk milik petani, yang dengan setia berdiri menanti lantas apa yang kita lakukan bila semua ati ditikam sunyi dan sepi? Aku: menyirami dengan air panas ngalkal serta mendidih diatas ubunku biar aku dan kita serta alam kita tetap hijau meski rumah gundukan bukit kita pernah berumur ribuan tahun atau akan abadi.

Annuqayah, 28 Oktober 2010.

Sajak-Sajak Rusydi Zamzami


Rusydi Zamzami
Lahir di Kampung Pang-panggung, Dusun Kombung Barat, Desa Ellak Daya, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep, 09 Juni 1989, Madura, Jawa Timur. Alumni Mts Bustanul Ulum Ellak Daya tahun 2005 dan SMA Annuqayah Guluk-guluk tahun 2008. Sekarang sedang nyantri di PP. Annuqayah daerah Latee sekaligus mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-guluk Fakultas Syari'ah Jurusan Mu’amalah. Menulis puisi, cerpen, esei, opini, gagasan, resensi, dll. Karya-karyanya dimuat di media lokal dan nasional. Seperti, Kompas (Anak), Jawa Pos (Gagasan), Annida (Online & Cetak), SituSeni (Online), Ummi, Sidogiri, Kuntum, Keren Beken, Fajar, Hijrah, Isabella, Al-Kaun, dll. Antologi puisi bersama kawan-kawan; Rumah Seribu Pintu (RSB, 2008), Annuqayah dalam Puisi 2008 (BPA, 2008), Manuskrip Pertama 2009 (BPA, 2009), Tinta Kehidupan (TIRTA, 2010), Risalah yang Membumi (COTOT, 2011) dan Safar (RSB, 2011). Puisinya mendapat penghargaan sebagai Puisi Terbaik versi majalah KEREN BEKEN (2008); juara 2 lomba cipta puisi spontan dalam acara peringatan maulid Nabi Muhammad SAW se-siswa SMA Annuqayah (2008); juara 1 lomba cipta cerpen se-Annuqayah Latee yang diadakan oleh Forum Organisasi Besama (FORMA) PP. Annuqayah Latee (2009). Bergabung di komunitas sastra Bengkel Puisi Annuqayah (BPA) dan Rumah Sastra Bersama (RSB), Guluk-guluk, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Beralamat: PP. Annuqayah Latee, Al-Bukhari No. 21, Jl. Makam Pahlawan, Guluk-guluk, Sumenep, Madura, Jawa Timur 69463. Phone. (0328) 821366, Faks. (0328) 821155. E-mail: rusydizamzami@gmail.com


Sajak-Sajak Rusydi Zamzami

DI TUBUHMU


ruang gairah rindu.


*
sudah kau tangkap isyarat waktu? segerombolan petir
berkeliaran siap menyambar. di tubuhmu
sebuah ruang paling rahasia
di dalamnya tersimpan rimbun kesejukan. adalah aku
yang kadung ingin memasuki ruang itu
tidak segampang yang diimpikan
mencari pintu jalan.


**
sudah kau baca gelisahku? gairah paling liar
terus menjalar. di tubuhmu
telah lama kubangun singgasana sulaiman
halamannya kubuat kolam surga
dengan aneka ragam ikan emas bercumbuan
sekelilingnya kutanam bunga-bunga nurani
agar menjadi prajurit sejati
yang setia menjagamu, menjaga kita, akhirnya

tetap saja langkahku ragu menuang kata
dan memulai cerita. di tubuhmu
ingin kulayarkan kapal-kapal api
gairah membuncah
dan kutabur benih-benih kehidupan
agar kelak menjadi sejarah yang siap disajikan
kepada zaman yang terus kehilangan

hingga seseorang datang membawa segudang keramahan
menancapkan tanda tangan pengesahan. di tubuhmu
aku pun tidak bisa lagi meneruskan
perjalanan.


***
sudah kau tahu? banyak sekali
yang ingin dikisahkan. di tubuhmu
aku mengadu rindu.


Guluk-guluk: Juli, 9~2007.


MENOLAK BAU MELATI


eli, mengapa kau tanam melati

di pintu rumah?


semakin hari

baunya merayapi dinding


dan menggugurkan kenangan

kenangan terkasih


yang bertahun-tahun

menawafi jantung


takkan damai mata

selama melati itu


terus melambai

di pintu


tolong cabut, eli

jangan lagi airi


aku masih ingin

keluar pintu


tanpa harus

membawa baunya


melihat dunia lain

di luar rumah


dan

batin


Guluk-guluk: Maret, 22~2010.

Sajak-sajak Romaiki Al-Hafidz


Romaiki Al-Hafidz, nama pena dari Romaiki Hafni, lahir di Batang-Batang Daya, Sumenep, Madura, 20 Agustus 1991. Menulis puisi, cerpen, artikel, opini dll. Menyelesaikan pendidikan SD-nya di SDN ! Masalembu (2002-2003). SMP-nya juga ia tuntaskan di SMP ! Masalembu (2005-2006). Setelah itu ia mengembara memburu ilmu Allah ke penjara suci PP. Annuqayah Latee pada Juni 2006. Alumnus MA 1 Annuqayah (2008-2009). Mulai belajar menulis sejak duduk di bangku MA.Aktif di perpustakaan PP. Annuqayah Latee (Koord. Pendidikan dan Pengajaran) dan menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Buletin Hijrah (2010-2011). Bedomisili di kompleks Bahasa Arab ‘Darul Lughah Al ‘Arabiyah’ No.02. Saat ini masih tercatat sebagai Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, pada Fakultas Syariah, Jurusan Muamalat semester 3. Puisi Penyair yang merindukan “Teduh Sejati”ini. Banyak dimuat dibeberapa media massa baik local sampai nasional, seperti Buletin Variez, Hijrah Buletin Sidogiri, www.penyairnusantaramadura.com, dll. Salah satu puisi juga masuk dalam antologi “tinta kehidupan” di PP. Annuqayah (2010). Kontak Person: email: meiki_alhafidz@yahoo.co.id atau penunggu.pelangi@gmail.com ; Blog: www.penunggu-pelangi.blogspot.com.


Sajak-sajak Romaiki Al-Hafidz

Aku Akan Selalu Berjalan Seirama Denganmu


tongkat yang kutancapkan di halaman

telah berselimut lebat belukar perjalanan

aku dan kau masih saja mengeja tanah

beribu-ribu persinggahan berubah kemah


entah berapa lama lagi, kita kan menemukan muara

kita letakkan, barang cuma sejenak

cucuran-cucuran peluh semangat tuk membakar racun malal


aku dan kau tak bergerak

ketika senja bertamu pada malam

dan kau beranjak dari pertapaan

ketika fajar membangunkan surya


di pangkal jalan, kau berkata padaku:

”teman, tujuan kita satu cahaya gemintang,

maka diantara kita tidak boleh menjadi ekor atau kepala

berjalanlah seirama denganku”


jiwaku berbisik: ”aku sendiri tak mengerti arti semua ini”


lalu kita berdua menembus embun pagi

melewati jalan setapak berhiaskan rumput-rumput

merindukan sang mentari

entah berapa pemukiman telah kita lalui

panas dan duri menjadi belahan hati


hakikat hidup adalah bergerak menuju satu muara

batu rintangan menghiasi setiap yang bernyawa

teruslah berdenyut di jembatan putih

jangan menoleh pada hamparan perih


aku dan kau takkan berhenti bergerak

menyelami lautan safar

tuk cicipi manis permata di dasar sunyi


seperti yang kau katakan:

”aku akan selalu berjalan seirama denganmu”


08 Juni 2010


Tembang Para Nelayan


gemuruh angin menemani

mengibarkan menara dalam keniscayaan

menderu bagai deru serigala

yang nyawanya akan segera hilang


persemidian kami belum berakhir

selama nyawa masih bergelembung

sejauh gendrang maut belum ditabuh


dari pinggir pemukiman kami melesat

seperti burung menari dengan kedua sayapnya

mencari sesuap pakan untuk sanak saudaranya

yang mulai menjerit

kosong perut mengkerut


”laut adalah sejuta harapan

tempat keringat menetes

jika nyawa adalah mutiara

tolong simpan baik-baik

di detak jantungmu”


di tengah kecamuk badai

ada atau tiada

kami tak tahu


2009

Sajak-sajak Syahdaka Musyfiq Abadaka

Syahdaka Musyfiq Abadaka, bernama asli Musyfiqur Rahman lahir di Sumenep 5 Juli 1994, asal Ganding. Pendidikan TK dan MI, diselesaikan di Yayasan Ar-Rawiyah Bilapora Timur Ganding Sumenep, sedangkan SLTP, di MTs 1 Annuqayah dan sekarang masih duduk di kelas XA MA Tahfidh Annuqayah. Tekun menulis puisi, cerpen, esai dan lalin-lain. Puisinya yang berjudul Tentang Sajadah di Akhir Hayat berhasul menjuarau Lomba Cipta Puisi se-Kabupaten Sumenep di PP. Agung Damar Pakamban Sumenep. Sebagian karya-karyanya telah di muat disebagian media lokal dan nasional seperti Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Buletin Sidogiri, Mimbar Jawa Timur, Hijrah, Variez, Kopi, SituSeni.com,, penyairnusantaramadura.blogspot.com, dll. serta masuk dalam antologi Tinta Kehidupan (Tirta 2010). Nyantri di PP. Annuqayah Daerah Latee Rayon Darul Lughah Al-Arabiyah dan aktif dalam komunitas Rumah Sastra Bersama {RSB} PP. Annuqayah Latee. Pintu silaturrahim: arrahman_afia@yahoo.com atau budakmu.allah@gmail.com (FB) Blog: www.penghunisabdalangit.blogspot.com


Sajak-sajak Syahdaka Musyfiq Abadaka


TENTANG SAJADAH DI AKHIR HAYAT

(hikayah rakyat yang tertindas)


aku tunggangi kuda yang di pacu melewati istana langit

yang menurunkan hujan ke bawah jembatan air mata

mereka tidak pernah berlayar ke arah perbatasan musim masa lalu

hanya sedikit dari bawah. Menjerit, menangis meronta..

mengalungi tanda perputaran shubhah di pertapaan embun

dalam sajadah yang sama aku hitung usia derita

ketika manghunus pedang dan mematahkan narasi yang remuk

terus aku telusuri pasar yang bermukim mancari tubuh puncak senja


(di sini aku lihat bendera yang berkibar dalam rusuk sejarah

tercipta dari darah dan tulang-belulang Ayah Ibuku

katakan pada mereka bahwa aku mencari sketsa pelayaran

akan mengantarkan panas matahari, ke dalam ribuan sajakku

dan dalam rimbun puing-puing mereka tertawa)


oh gusti, sampai saat ini serdadu-serdadu itu terus berlalu

meninggalkan setapak permulaan sejarah. Lalu pulang ke sebuah ratapan sengketa


engkau yang dulu pernah menguburkan waktu dalan dada

bersama dongeng dan luka sepanjang pematang

mengingatkanku kepada pertikaian antara rindu dan hulu semesta


(aku bawakan tujuh samudra untukmu

lewat persaksian deru angin di mata hujan)


tidak pernah aku hentikan mempi itu menerjemah padang kuasa

hancur mengairi tikaman abad tentang tuhan


PP. Annuqayah Latee 2010


MUSEUM TULANG-BELULANG


Tiada tangis yang reda

Bersama deru anngin yang menghela tubuhku

Yang merantau mencari seruling angin


Dan di padang ini yang penuh polusi hati

Mengabarkan padamu, tantang negeri ini

Ketika semua isi bumi bercerita

Seperti orang-orang yang berterbangan


Hujan dan terik matahari telah bersatu

Menusuk ruasan embun

Memecahkan luka

Dan membakar setiap lembaran sejarah

Sedangkan yang tersisa hanyalah darah dan tulang belulang

Dan air mata yang menetes seperti hujan


Tuan

Lihatlah negeri ini

Kami telah terluka bersamanya


Juli 2010