Sabtu, 16 April 2011

Sajak-sajak Syahdaka Musyfiq Abadaka

Syahdaka Musyfiq Abadaka, bernama asli Musyfiqur Rahman lahir di Sumenep 5 Juli 1994, asal Ganding. Pendidikan TK dan MI, diselesaikan di Yayasan Ar-Rawiyah Bilapora Timur Ganding Sumenep, sedangkan SLTP, di MTs 1 Annuqayah dan sekarang masih duduk di kelas XA MA Tahfidh Annuqayah. Tekun menulis puisi, cerpen, esai dan lalin-lain. Puisinya yang berjudul Tentang Sajadah di Akhir Hayat berhasul menjuarau Lomba Cipta Puisi se-Kabupaten Sumenep di PP. Agung Damar Pakamban Sumenep. Sebagian karya-karyanya telah di muat disebagian media lokal dan nasional seperti Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Buletin Sidogiri, Mimbar Jawa Timur, Hijrah, Variez, Kopi, SituSeni.com,, penyairnusantaramadura.blogspot.com, dll. serta masuk dalam antologi Tinta Kehidupan (Tirta 2010). Nyantri di PP. Annuqayah Daerah Latee Rayon Darul Lughah Al-Arabiyah dan aktif dalam komunitas Rumah Sastra Bersama {RSB} PP. Annuqayah Latee. Pintu silaturrahim: arrahman_afia@yahoo.com atau budakmu.allah@gmail.com (FB) Blog: www.penghunisabdalangit.blogspot.com


Sajak-sajak Syahdaka Musyfiq Abadaka


TENTANG SAJADAH DI AKHIR HAYAT

(hikayah rakyat yang tertindas)


aku tunggangi kuda yang di pacu melewati istana langit

yang menurunkan hujan ke bawah jembatan air mata

mereka tidak pernah berlayar ke arah perbatasan musim masa lalu

hanya sedikit dari bawah. Menjerit, menangis meronta..

mengalungi tanda perputaran shubhah di pertapaan embun

dalam sajadah yang sama aku hitung usia derita

ketika manghunus pedang dan mematahkan narasi yang remuk

terus aku telusuri pasar yang bermukim mancari tubuh puncak senja


(di sini aku lihat bendera yang berkibar dalam rusuk sejarah

tercipta dari darah dan tulang-belulang Ayah Ibuku

katakan pada mereka bahwa aku mencari sketsa pelayaran

akan mengantarkan panas matahari, ke dalam ribuan sajakku

dan dalam rimbun puing-puing mereka tertawa)


oh gusti, sampai saat ini serdadu-serdadu itu terus berlalu

meninggalkan setapak permulaan sejarah. Lalu pulang ke sebuah ratapan sengketa


engkau yang dulu pernah menguburkan waktu dalan dada

bersama dongeng dan luka sepanjang pematang

mengingatkanku kepada pertikaian antara rindu dan hulu semesta


(aku bawakan tujuh samudra untukmu

lewat persaksian deru angin di mata hujan)


tidak pernah aku hentikan mempi itu menerjemah padang kuasa

hancur mengairi tikaman abad tentang tuhan


PP. Annuqayah Latee 2010


MUSEUM TULANG-BELULANG


Tiada tangis yang reda

Bersama deru anngin yang menghela tubuhku

Yang merantau mencari seruling angin


Dan di padang ini yang penuh polusi hati

Mengabarkan padamu, tantang negeri ini

Ketika semua isi bumi bercerita

Seperti orang-orang yang berterbangan


Hujan dan terik matahari telah bersatu

Menusuk ruasan embun

Memecahkan luka

Dan membakar setiap lembaran sejarah

Sedangkan yang tersisa hanyalah darah dan tulang belulang

Dan air mata yang menetes seperti hujan


Tuan

Lihatlah negeri ini

Kami telah terluka bersamanya


Juli 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar