Sajak-sajak Syahdaka Musyfiq Abadaka
TENTANG SAJADAH DI AKHIR HAYAT
(hikayah rakyat yang tertindas)
aku tunggangi kuda yang di pacu melewati istana langit
yang menurunkan hujan ke bawah jembatan air mata
mereka tidak pernah berlayar ke arah perbatasan musim masa lalu
hanya sedikit dari bawah. Menjerit, menangis meronta..
mengalungi tanda perputaran shubhah di pertapaan embun
dalam sajadah yang sama aku hitung usia derita
ketika manghunus pedang dan mematahkan narasi yang remuk
terus aku telusuri pasar yang bermukim mancari tubuh puncak senja
(di sini aku lihat bendera yang berkibar dalam rusuk sejarah
tercipta dari darah dan tulang-belulang Ayah Ibuku
katakan pada mereka bahwa aku mencari sketsa pelayaran
akan mengantarkan panas matahari, ke dalam ribuan sajakku
dan dalam rimbun puing-puing mereka tertawa)
oh gusti, sampai saat ini serdadu-serdadu itu terus berlalu
meninggalkan setapak permulaan sejarah. Lalu pulang ke sebuah ratapan sengketa
engkau yang dulu pernah menguburkan waktu dalan dada
bersama dongeng dan luka sepanjang pematang
mengingatkanku kepada pertikaian antara rindu dan hulu semesta
(aku bawakan tujuh samudra untukmu
lewat persaksian deru angin di mata hujan)
tidak pernah aku hentikan mempi itu menerjemah padang kuasa
hancur mengairi tikaman abad tentang tuhan
PP. Annuqayah Latee 2010
MUSEUM TULANG-BELULANG
Tiada tangis yang reda
Bersama deru anngin yang menghela tubuhku
Yang merantau mencari seruling angin
Dan di padang ini yang penuh polusi hati
Mengabarkan padamu, tantang negeri ini
Ketika semua isi bumi bercerita
Seperti orang-orang yang berterbangan
Hujan dan terik matahari telah bersatu
Menusuk ruasan embun
Memecahkan luka
Dan membakar setiap lembaran sejarah
Sedangkan yang tersisa hanyalah darah dan tulang belulang
Dan air mata yang menetes seperti hujan
Tuan
Lihatlah negeri ini
Kami telah terluka bersamanya
Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar